Tujuh tahun lalu, ada seorang perempuan menemani ibundanya menemui seorang notaris wanita untuk suatu tujuan. Ibunda yang sudah sepuh berbincang akrab dengan sang notaris, perempuan itu – sebut saja perempuan X dan sudah berumah tangga, hanya diam menyimak percakapan mereka.

Tak ada angin tak ada hujan, ibunda dari perempuan X tiba-tiba saja mengatakan, “Anakku ini sarjana Teknik tapi dia cuma ibu rumah tangga biasa.”

Sudah biasa perempuan X mendengar hal ini dari ibundanya. Bukanlah hal yang luar biasa sebenarnya. Dia paham, ibundanya kecewa akan pilihannya menjadi ibu rumahan padahal dengan ijazah yang dimilikinya – dia lulusan perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia timur dengan IPK 3 koma sekian, dia bisa saja bekerja di perusahaan besar.

Bagi dirinya, tak mungkin meninggalkan anak-anaknya dengan asisten rumah tangga. Terlebih lagi, tak mungkin ditinggalkannya kepada ibundanya jika dia bekerja sebagai engineer. Pekerjaan engineer biasanya dari pagi hingga malam. Dia ingin mengasuh sendiri anak-anaknya. Terbayangkan banyaknya waktu yang hilang dalam membersamai masa kecil ketiga buah hatinya jika dia bekerja di luar rumah.

Tapi yang tak dipahaminya, notaris wanita itu berhenti bercakap dengan ibunya begitu mendengar selorohan sang ibunda. Sang notaris beralih pandang dari ibundanya ke dirinya, menurunkan kacamatanya. Ibu notaris itu menunduk sedikit kepalanya dan mendelik dari balik kacamatanya, menatap perempuan X. Bola matanya pindah ke bagian atas rongga matanya.

Sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, dia berdecak, “Ck ck ck ck ck.”

Hei. Apa yang salah dengan menjadi Ibu rumah tangga saja?

Sudah 7 tahun berlalu dan perempuan X tak bisa melupakan reaksi ibu notaris itu. Waktu itu sebenarnya dia sudah aktif ngeblog, sudah mendapatkan penghasilan dari ngeblog dan media sosial, dan sudah memperoleh penghargaan. Dia pun sudah menghasilkan buku solo dan sudah berkontribusi dalam beberapa buku antologi. Dia juga sementara belajar menulis untuk menembus rubrik opini di koran lokal ternama. Tapi dia memilih diam saja.

Sudah 7 tahun berlalu. Perempuan X merasa nyaman dengan aktivitasnya ngeblog. Sudah lebih dari 2500 tulisan yang dia hasilkan, termasuk di media-media cetak. Sudah banyak lomba dia menangkan. Meski penghasilannya sebagai freelancer tak bisa disandingkan dengan penghasilan seorang engineer ataupun notaris, dia tenang karena pada dasarnya kehidupannya tak diatur oleh siapapun. Pun jam kerjanya tergantung dirinya.

Dia tak memilik atasan. Dia bekerja mandiri dan bebas memilih pekerjaan mana yang ingin dia lakukan. Bahkan ketika bernegosiasi dengan pemberi job, dia bebas mengemukakan nilai-nilai yang dianutnya dan menolak hal-hal terkait pekerjaan yang tak bersesuaian dengan nilai-nilainya.

Perempuan X itu – Mugniar, mamak blogger Makassar yang mengelola sekaligus pemilik blog www.mugniar.com.

Alasan emak-emak perlu ngeblog

Mugniar berbagi kisah bukan untuk membahas sikap notaris di atas. Juga bukan untuk berkontroversi mengenai ibu bekerja di sektor publik dengan yang memilih tetap di sektor domestik saja.

Berangkat dari banyak pengalaman, termasuk yang tak enak di masa lalu, seperti pengalaman di atas, Mugniar hendak berbagi cerita mengenai alasan mengapa emak-emak perlu ngeblog.

1. Membuat catatan sejarah.

Awalnya saya ngeblog karena alasan ini. Ingin mencatat sejarah perkembangan anak. Inginnya kelak anak-anak bisa membaca catatan yang saya tinggalkan walau saya tak ada lagi di dunia ini.

2. Saling menguatkan dengan berkomunitas.

Dengan berkomunitas, dengan sesama blogger, para emak bisa membaca kisah-kisah emak lain. Berdasarkan pengalaman, saya belajar dari kisah emak-emak lain. Sering kali jadi merasa makin termotivasi karena mendapatkan kisah yang serupa. Juga mendapatkan insight dari pengalaman yang berbeda sehingga lebih menghargai pendapat yang berbeda.

3. Memberikan pembelajaran bagi orang lain.

Jika sebagai blogger kita bisa belajar dari tulisan orang lain maka demikian pula yang membacanya, bisa saja belajar dari tulisan kita. Jika hal bermanfaat diperoleh dari apa yang kita tulis berarti amal baik berupa sedekah melalui tulisan sudah kita lakukan.

4. Jalan rezeki.

Mamak blogger juga punya peluang mendapatkan rezeki lho. Entah itu dari permintaan endorse yang usaha menulis kita dibarter dengan barang, ataukah entah itu dibayar pakai uang. Ada juga pemberi job yang mengincar blog dengan nilai DA tertentu. Tapi dengan catatan, harus rajin update dong. Jangan sampai menulisnya setahun dua kali kayak lebaran saja tapi berharap dapat banyak job.

Kalau rajin update dan konsisten dalam bilangan tahun, jangankan pekerjaan dari dalam negeri. Bahkan dari luar negeri yang dibayar melalui Paypal bisa diperoleh!

Kalau tidak dapat penawaran job yang masuk melalui email atau dari komunitas, jangan berkecil hati. Coba belajar SEO dan mengikuti kompetisi SEO, hadiahnya gede, lho. Tapi kalau merasa kompetisi SEO susah, jangan berkecil hati karena lomba yang mementingkan konten saja masih banyak.

5. Jalan amal jariyah.

Kalau blog bisa menjadi jalan menebar kebaikan maka ada kemungkinan blog bisa menjadi jalan untuk amal jariyah – amal yang tak putus meskipun kita sudah meninggal dunia. Yah, minimal buat anak-cucu. Lebih bagus lagi kalau domain / hosting masih bisa dipelihara atau dilanjutkan oleh anak-cucu.

6. Jalan “to prove something”.

Pernah diremehkan? Dicibirkan karena “hanya ibu rumah tangga”? Nah, jika menjadi blogger aktif, Anda bisa membuktikan diri bahwa dengan menjadi ibu rumah tangga yang diam di rumah, Anda juga bisa berkarya melalui tulisan. Tunjukkan melalui tulisan kalau memilih menjadi ibu rumah tangga bukanlah hal yang bisa diremehkan. Lagian semua orang berhak punya pilihan berbeda dan kelak setiap orang akan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri.

Tapi saran saya, sebaiknya jangan jadikan alasan nomor 6 ini sebagai alasan dan tujuan utama, ya. Tetap yang utama adalah menebar kebaikan. Mengapa? Harus dibatasi sih ya, karena salah-salah jatuhnya bisa ke pamer dan riya’.

Menulis itu pekerjaan hati. Menyenangkannya menjadi blogger aktif, banyak hal positif yang kita dapatkan. Lebih menyenangkan lagi jika dikerjakan dengan hati bersih. Plong, tanpa beban dan tak menyakiti orang lain.

Eh tapi jangan mengira dengan menulis ini berarti saya sudah suci bersih ya. Saya bukan malaikat. Tulisan ini pun menjadi pengingat bagi saya untuk selalu memperbaiki diri.

Yuk, Mak, mari ngeblog. Yuk, Pak, biarkan istri Anda ngeblog karena ngeblog yang dijalani dengan serius akan ada dampak positifnya.

Kisah lain: Dari Kuli Bangunan Menjadi Blogger

6 Alasan Mengapa Emak-Emak Perlu Ngeblog

Bagikan:

Kang Andre

Blogger amatir yang mencoba belajar ngeblog dan berbagi pengalaman lewat artikel online

Tinggalkan Balasan ke Kang Andre Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *